sumber gambar : malukupost.com |
Raport merupakan laporan hasil
belajar siswa yang disampaikan oleh pihak sekolah ke orangtua siswa secara
periodik. Laporan ini berguna sebagai bahan evaluasi untuk orangtu dan anak
agar dapat meningkatkan prestasi belajarnya di semester yang akan datang. Dalam
sistem pendidikan Indonesia sebelum menggunakan kurikulum 2013, pelaporan
raport ini biasanya disertai ranking. Baik ranking di kelas maupun ranking
paralel dari seluruh kelas yang ada di sekolah tersebut. Diakui atau tidak,
banyak anak yang kemudian berusaha keras menduduki ranking tertinggi di
sekolahnya supaya mendapatkan penghargaan. Ya, memang masyarakat kita telah
terbiasa menilai masa depan seorang peserta didik dilihat dari prestasi
akademisnya. Padahal jelas tidak demikianlah faktanya. Semua anak berhak
mendapatkan masa depan mapan. Tak terkecuali anak yang biasa dicap bandel.
Raport Semester Ini
Saya ingin berbagi cerita
mengenai pengalaman menerima raport pada semester ini. Semester 1 Tahun
Pelajaran 2016/2017 telah diakhiri dengan penerimaan raport yang hampir
bebarengan di seluruh wilayah Indonesia. Rasa deg-degan pasti muncul di hati
anak-anak yang merasa prestasinya turun, begitupun saya. Saya merasa semester
awal kelas 3 SMA ini sangat kurang maksimal.
Sesuai petunjuk guru, semester 5
pada jenjang SMA dianggap sebagai semester terakhir penentu kelulusan SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Semua guru di sekolah tak
pernah bosan mengingatkan agar belajar lebih keras lagi dan lagi. Bagi beberapa
siswa, suruhan semacam ini bukan malah memacunya belajar tekun, melainkan bosan
belajar. Pada dasarnya tidak semua anak harus berprestasi di semua mata
pelajaran yang ada di sistem pendidikan kita. Beberapa di antaranya memang
terlahir sebagai seniman, penulis dan pemusik. Mereka tidak terlalu tertarik
mempelajari sesuatu dari dalam buku. Apalagi jika dihadapkan pada sebuah
pertanyaan yang jawabannya tidak boleh keluar dari buku. Rasa ditekan, dipaksa
berpikir sesuai kotak dan tidak bisa berekspresi bebas malah dapat membuat anak
terbebani.
Di pikiran saya, semester ini
adalah semester paling sulit dalam sejarah pendidikan wajib saya. Kadang saya
merasa menyesal dan mempertanyakan kepada Tuhan, mengapa saya harus mendapatkan
masalah keluarga di usia perkembangan remaja. Usia-usia rawan pelampiasan
salah, usia yang belum matang kedewasaannya dan usia seharusnya anak masih
bersenang-senang. Semester ini saya mengalami gejala stress ringan yang berlanjut terkena penyakit personality disorder
cluster A yang nanti akan saya bahas di artikel selanjutnya.
Flashback
Lanjut lagi, saya merasa sudah
tidak bisa berbuat apa-apa. Sekolah pun saya sering terlambat. Dari awal masuk
semester pada bulan Agustus 2016 sampai November kemarin sudah ada sekitar 15
hari aktif yang saya ikuti terlambat. Jumlah tersebut adalah yang tertinggi
bagi siswa kelas 3. Seharusnya siswa kelas 3 sudah fokus pada pelajarannya dan
bisa mengatur waktu bagi diri sendiri. Tapi saya merasa ini urusan dan
tanggungjawab saya sendiri. Sekolah saya merupakan salah satu dari segitiga
emas SMA di dalam kota saya. Sehingga memiliki jumlah keterlambatan sampai
belasan kali membuat nama saya dihafali oleh para guru penjaga.
Dulu saya adalah murid yang
rajin, kadang-kadang saya menghabiskan waktu dengan membaca buku atau hal-hal
bermanfaat lainnya. Tetapi sejak keluarga berantakan ditambah penyakit
psikologis yang mendera, saya sadar bahwa mengejar prestasi akademis tidak
lebih penting dari membentuk karakter diri sendiri. Bagaimana cara kita
menghargai orang lain, menyikapi setiap komentar dan ejekan orang lain,
mengucapkan maaf serta terima kasih tidak pernah dipelajari di dalam buku
penunjang sekolah. Padahal di dunia luar, etos kerja seseorang bisa dilihat
dari kebiasaannya melatih sikap-sikap diri seperti itu. Ketika Anda nanti ingin
berwirausaha lalu sukses, orang tidak akan menanyakan apa saja prestasi Anda
selama di bangku sekolah. Mereka akan penasaran pada bagaimana perjalanan Anda menuju
kesuksesan besar.
Haruskah Mengejar Nilai ?
Opini saya di atas bukan berarti
saya menganggap prestasi akademis tidak penting. Prestasi akademis itu penting
karena nanti ketika Anda ingin melanjutkan kuliah di perguruan tinggi bonafit,
nilai raport akan menjadi pertimbangan diterima atau ditolaknya kita. Selain
itu, dalam seleksi pegawai perusahaan, ijazah terakhir banyak dipakai. Tetapi
dari semua itu, pastikan dulu masa depan seperti apa yang Anda rancang.
Selanjutnya barulah tempatkan sesuai porsinya waktu dan prestasi Anda.
Terakhir, berserah dirilah kepada Tuhan. Sekeras apapun kita berusaha mengejar
nilai bagus, kalau Allah tidak menakdirkannya, usaha tersebut bisa jadi di luar
harapan. Ujung-ujungnya ? Kekecewaan.
Sedikit tambahan, saya tidak
terlalu terpaku pada nilai di semester ini. Hari demi hari bersekolah saya
lalui seenjoy mungkin. Saya benar-benar santai menjalani sekolah. Ulangan yang
intensitasnya sering tidak pernah saya jadikan beban. Malah belakangan ini saya
aktif menjadi penulis konten dan belajar menulis di komunitas Ibu-ibu Doyan
Nulis (IIDN) yang alamatnya di emakpintar.asia.
Saya menyerahkan diri pada Allah.
Kalau memang nanti tidak lolos di SNMPTN karena nilai dan ranking turun, ya
saya harus cari jalan lain. Allah memang romantis. Banyaknya teman yang
meragukan kemampuan saya di semester ini dan tentunya saya senyumi saja
sekarang bingung karena saya menempati urutan kelima di kelas. Teman saya yang
semester kemarin juara 2 menjadi ranking 6. Itu penilaian secara total jumlah
nilai kognitif plus psiko. Beda lagi dilihat dari salah satunya saja, di aspek
psiko ternyata saya menduduki peringkat pertama di kelas dan kelas saya adalah
kelas terbaik dari seluruh kelas jurusan ilmu sosial. Alhamdulillahirrabbil’alamiin.
Dengan peristiwa ini, saya bisa mengatakan kepada Anda: ‘Percayalah, ketika
kita melibatkan Tuhan, Tuhan akan selalu memberi sesuatu sebelum kita
memintanya. Tetap nomor satukan Tuhan sebelum memilih orientasi ke yang lain.’ Tetap
optimis ya, selamat berproses. Jangan lupa singkirkan malasmu secara praktis.
EmoticonEmoticon